5 Pahlawan Nasional Wanita Selain Kartini
Hari Kartini, waktu dimana rakyat Indonesia merayakannya dengan mengenang Raden Ajeng Kartini yang walau telah dirampas semua hak atas memilih jalan kehidupannya, tetap menginpirasi kaum wanita dan Indonesia dengan ide-idenya.
Mungkin karena hari Kartini sudah menjadi ajang bagi para kaum ibu berpesta sambil punya alasan mendandani anak-anak mereka dan mencari kebaya baru, hari Kartini semakin populer sebagai perayaan dan dilupakan sebagai peringatan akan perjuangan seorang ikon feminisme awal Indonesia. Padahal, hari ini merupakan momen yang tepat untuk mengenang bukan hanya cerita Kartini, namun juga wanita-wanita pejuang yang memperjuangkan negara, dan kerap diabaikan karena adanya sifat berat sebelah dalam dunia sejarah yang senang mengenang tokoh Pria dan mengecilkan peran wanita.
Berikut adalah kisah perjuangan dan jasa pahlawan-pahlawan wanita yang resmi menyandang gelar Pahlawan Nasional, selain Kartini, seperti yang ikutip dari liputan6.com
1. Cut Nyak Dhien
Dhien yang lahir di keluarga aristokrat Islam memutuskan untuk ikut berperang setelah kematian suaminya, Ibrahim Lamnga wafat dalam perang Ekspedisi Aceh Dua. Bersama suami keduanya, Teuku Umar, ia bergabung dalam militer Aceh dan berpartisipasi dalam perang gerilya. Ketika Teuku Umur dibunuh dalam usahanya menjadi mata-mata Belanda, Putrinya, Cut Gambang menangis di depan jasad ayahnya. Dhien kemudian menamparnya dan membuat pernyataan yang seperti diambil dari dialog dalam Game of Thrones; “sebagai Wanita Aceh, kita tidak seharusnya menangisi mereka yang gugur.” Setelah kematian Umar, Dhien melanjutkan perlawanan terhadap Belanda dengan kelompok militer kecil sampai penghancuran di tahun 1901, saat Belanda mengembangkan taktik baru. Saat Dhien makin tua dan berkurang kompetensinya dalam medan perang, Cut Gambang melanjutkan perlawanan.
2. Cut Nyak Meutia
Meutia bergabung dalam militer Aceh yang dipimpin oleh suaminya, Teuku Cik Tunong, dimana mereka melakukan perlawanan sukses terhadap Belanda. Namun Cik Tunong ditangkap dan ditembak mati oleh Belanda di tahun 1905. Tak lama, pengganti Cik Tunong, Pang Naggroe gugur dalam perang dan membuat Meutia menggantikannya menjadi pemimpin pasukan. Saat itu anggotanya hanya tinggal 45 orang dengan senjata 13 senapan. Tahun 1910, Meutia ditemukan oleh Belanda di tempat persembunyiannya di Paya Cicem. Dengan bersenjatakan rencong, ia melawan, namun ditembak mati di kepala dan dadanya.
3. Raden Dewi Sartika
Seakan menjadi suksesor Kartini, Dewi Sartika merupakan pelopor pembangunan fasilitas pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Ia memiliki passion yang meledak-ledak terhadap dunia ajar-mengajar. Bahkan di masa ia masih 10 tahun, ia pernah membuat warga Cicalengka -tempat tinggalnya saat itu, kebakaran jenggot akibat aksinya mengajarkan baca tulis dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu kepatihan. Sartika memiliki nasib yang lebih baik dari Kartini, dimana ia memiliki Paman, Bupati Martanagara, yang mendukungnya lantaran memiliki visi sama, dan pada tahun 1904, Sartika membuka Sakola Istri yang merupakan sekolah untuk perempuan pertama se-Hindia-Belanda. Sekolah ini terus berkembang dan menginspirasi bermunculannya sekolah-sekolah serupa.
4. Martha Christina Tiahahu
Tumbuh besar hanya dengan ayahnya, Tiahahu selalu mengikuti kemana ayahnya pergi. Salah satunya saat mengikuti strategi penyerangan yang bermula pada gerilya terhadap pemerintahan Belanda. Ia turut berpartisipada di pertarungan di Pulau Saparua, dan berhasil dalam operasi membakar Benteng Duurstede sampai rata. Setelah Vermeulen Kringer menjadi pemimpin militer Belanda di Maluku, Tiahahu beserta ayahnya dan Pattimura ditangkap pada Oktober 1817, dimana ia tidak dihukum karena masih dibawah umur. Ia menggunakan kesempatan itu untuk terus berperang.
5. Hajjah Rasuna Said
Ada yang baru tahu bahwa Rasuna Said merupakan nama seorang wanita? Said merupakan wanita asal Minangkabau yang aktif dalah Sarekat Rakyat dan kemudian menjadi anggota Indonesian Muslim Organisation. Wanita dengan wawasan luas yang tidak takut mengecam Belanda ini dipenjara oleh Belanda pada tahun 1932 di Semarang akibat aktivisme-nya. Namun itu tidak menyurutkan semangatnya dan pada tahun 1945, ia kembali bergabung di Dewan Perwakilan Sumatra dan Dewan Pertimbangan Agung di tahun 1959 sampai akhir hayatnya pada 1965.
Comments
Post a Comment